LARANGAN WANITA HAID
asallamualaikum wr wb
ini ak posti buat kaum hawa yg harus di perhatikan langsung aja. Darah haid adalah darah normal
pada wanita, berwarna hitam
pekat dan berbau tidak enak,
keluar dari tempat dan waktu
tertentu. Darah ini penting sekali
dipahami baik bagi wanita itu
sendiri, termasuk pula bagi pria
karena ia nantinya menjadi
pendamping wanita atau memiliki
sanak keluarga yang mesti ia
jelaskan tentang masalah ini. Yang
muslim.or.id angkat kali ini
mengenai masalah larangan bagi
wanita haid. Yaitu hal-hal apa saja
yang tidak boleh dilakukan. Dan
hal yang dilarang ini juga berlaku
bagi wanita nifas. Juga ada sedikit
penjelasan mengenai hal-hal yang
sebenarnya bukan larangan.
Larangan pertama: Shalat
Para ulama sepakat bahwa
diharamkan shalat bagi wanita haid
dan nifas, baik shalat wajib maupun
shalat sunnah. Dan mereka pun
sepakat bahwa wanita haid tidak
memiliki kewajiban shalat dan
tidak perlu mengqodho’ atau
menggantinya ketika ia suci.
Dari Abu Sai’d, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺃَﻟَﻴْﺲَ ﺇِﺫَﺍ ﺣَﺎﺿَﺖْ ﻟَﻢْ ﺗُﺼَﻞِّ ، ﻭَﻟَﻢْ ﺗَﺼُﻢْ
ﻓَﺬَﻟِﻚَ ﻧُﻘْﺼَﺎﻥُ ﺩِﻳﻨِﻬَﺎ
“Bukankah bila si wanita haid ia
tidak shalat dan tidak pula puasa?
Itulah kekurangan agama si
wanita. (Muttafaqun ‘alaih, HR.
Bukhari no. 1951 dan Muslim no.
79)
Dari Mu’adzah, ia berkata bahwa
ada seorang wanita yang berkata
kepada ‘Aisyah,
ﺃَﺗَﺠْﺰِﻯ ﺇِﺣْﺪَﺍﻧَﺎ ﺻَﻼَﺗَﻬَﺎ ﺇِﺫَﺍ ﻃَﻬُﺮَﺕْ ﻓَﻘَﺎﻟَﺖْ
ﺃَﺣَﺮُﻭﺭِﻳَّﺔٌ ﺃَﻧْﺖِ ﻛُﻨَّﺎ ﻧَﺤِﻴﺾُ ﻣَﻊَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰِّ –
ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻓَﻼَ ﻳَﺄْﻣُﺮُﻧَﺎ ﺑِﻪِ . ﺃَﻭْ
ﻗَﺎﻟَﺖْ ﻓَﻼَ ﻧَﻔْﻌَﻠُﻪُ
“Apakah kami perlu mengqodho’
shalat kami ketika suci?” ‘Aisyah
menjawab, “Apakah engkau
seorang Haruri? Dahulu kami
mengalami haid di masa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam masih
hidup, namun beliau tidak
memerintahkan kami untuk
mengqodho’nya. Atau ‘Aisyah
berkata, “Kami pun tidak
mengqodho’nya.” (HR. Bukhari no.
321)
Larangan kedua: Puasa
Dalam hadits Mu’adzah, ia pernah
bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha,
ﻣَﺎ ﺑَﺎﻝُ ﺍﻟْﺤَﺎﺋِﺾِ ﺗَﻘْﻀِﻰ ﺍﻟﺼَّﻮْﻡَ ﻭَﻻَ ﺗَﻘْﻀِﻰ
ﺍﻟﺼَّﻼَﺓَ ﻓَﻘَﺎﻟَﺖْ ﺃَﺣَﺮُﻭﺭِﻳَّﺔٌ ﺃَﻧْﺖِ ﻗُﻠْﺖُ ﻟَﺴْﺖُ
ﺑِﺤَﺮُﻭﺭِﻳَّﺔٍ ﻭَﻟَﻜِﻨِّﻰ ﺃَﺳْﺄَﻝُ. ﻗَﺎﻟَﺖْ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺼِﻴﺒُﻨَﺎ
ﺫَﻟِﻚَ ﻓَﻨُﺆْﻣَﺮُ ﺑِﻘَﻀَﺎﺀِ ﺍﻟﺼَّﻮْﻡِ ﻭَﻻَ ﻧُﺆْﻣَﺮُ
ﺑِﻘَﻀَﺎﺀِ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ.
‘Kenapa gerangan wanita yang
haid mengqadha’ puasa dan tidak
mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah
menjawab, ‘Apakah kamu dari
golongan Haruriyah? ‘ Aku
menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah,
akan tetapi aku hanya bertanya.’
Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga
mengalami haid, maka kami
diperintahkan untuk mengqadha’
puasa dan tidak diperintahkan
untuk mengqadha’ shalat’.” (HR.
Muslim no. 335) Berdasarkan
kesepakatan para ulama pula,
wanita yang dalam keadaan haid
dan nifas tidak wajib puasa dan
wajib mengqodho’ puasanya. (Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 28/ 20-21)
Larangan ketiga:
Jima’ (Hubungan intim di
kemaluan)
Imam Nawawi rahimahullah
berkata, “Kaum muslimin sepakat
akan haramnya menyetubuhi
wanita haid berdasarkan ayat Al
Qur’an dan hadits-hadits yang
shahih.” (Al Majmu’, 2: 359) Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata,
“Menyetubuhi wanita nifas adalah
sebagaimana wanita haid yaitu
haram berdasarkan kesepakatan
para ulama.” (Majmu’ Al Fatawa,
21: 624)
Allah Ta’ala berfirman,
ﻓَﺎﻋْﺘَﺰِﻟُﻮﺍ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺤِﻴﺾِ
“Oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari (hubungan
intim dengan) wanita di waktu
haid.” (QS. Al Baqarah: 222). Imam
Nawawi berkata, “Mahidh dalam
ayat bisa bermakna darah haid,
ada pula yang mengatakan waktu
haid dan juga ada yang berkata
tempat keluarnya haid yaitu
kemaluan. … Dan menurut ulama
Syafi’iyah, maksud mahidh adalah
darah haid.” (Al Majmu’, 2: 343)
Dalam hadits disebutkan,
ﻣَﻦْ ﺃَﺗَﻰ ﺣَﺎﺋِﻀًﺎ ﺃَﻭِ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓً ﻓِﻰ ﺩُﺑُﺮِﻫَﺎ ﺃَﻭْ
ﻛَﺎﻫِﻨًﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﻛَﻔَﺮَ ﺑِﻤَﺎ ﺃُﻧْﺰِﻝَ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ -
ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ-
“Barangsiapa yang menyetubuhi
wanita haid atau menyetubuhi
wanita di duburnya, maka ia telah
kufur terhadap apa yang
diturunkan kepada Muhammad –
shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR.
Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no.
639. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih). Al
Muhamili dalam Al Majmu’ (2: 359)
menyebutkan bahwa Imam Asy
Syafi’i rahimahullah berkata,
“Barangsiapa yang menyetubuhi
wanita haid, maka ia telah
terjerumus dalam dosa besar.”
Hubungan seks yang dibolehkan
dengan wanita haid adalah
bercumbu selama tidak melakukan
jima’ (senggama) di kemaluan.
Dalam hadits disebutkan,
ﺍﺻْﻨَﻌُﻮﺍ ﻛُﻞَّ ﺷَﻰْﺀٍ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻨِّﻜَﺎﺡَ
“Lakukanlah segala sesuatu
(terhadap wanita haid) selain
jima’ (di kemaluan).” (HR. Muslim
no. 302)
Dalam riwayat yang muttafaqun
‘alaih disebutkan,
ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ ﻗَﺎﻟَﺖْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﺇِﺣْﺪَﺍﻧَﺎ ﺇِﺫَﺍ ﻛَﺎﻧَﺖْ
ﺣَﺎﺋِﻀًﺎ ، ﻓَﺄَﺭَﺍﺩَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ
ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﺃَﻥْ ﻳُﺒَﺎﺷِﺮَﻫَﺎ ، ﺃَﻣَﺮَﻫَﺎ ﺃَﻥْ
ﺗَﺘَّﺰِﺭَ ﻓِﻰ ﻓَﻮْﺭِ ﺣَﻴْﻀَﺘِﻬَﺎ ﺛُﻢَّ ﻳُﺒَﺎﺷِﺮُﻫَﺎ . ﻗَﺎﻟَﺖْ
ﻭَﺃَﻳُّﻜُﻢْ ﻳَﻤْﻠِﻚُ ﺇِﺭْﺑَﻪُ ﻛَﻤَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰُّ – ﺻﻠﻰ
ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻳَﻤْﻠِﻚُ ﺇِﺭْﺑَﻪُ
Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa di
antara istri-istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ada yang
mengalami haid. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin
bercumbu dengannya. Lantas
beliau memerintahkannya untuk
memakai sarung agar menutupi
tempat memancarnya darah haid,
kemudian beliau tetap
mencumbunya (di atas sarung).
Aisyah berkata, “Adakah di antara
kalian yang bisa menahan
hasratnya (untuk berjima’)
sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menahannya?” (HR.
Bukhari no. 302 dan Muslim no.
293). Imam Nawawi menyebutkan
judul bab dari hadits di atas, “Bab
mencumbu wanita haid di atas
sarungnya”. Artinya di selain
tempat keluarnya darah haid atau
selain kemaluannya.
Larangan keempat: Thawaf
Keliling Ka’bah
Ketika ‘Aisyah haid saat haji, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda padanya,
ﻓَﺎﻓْﻌَﻠِﻰ ﻣَﺎ ﻳَﻔْﻌَﻞُ ﺍﻟْﺤَﺎﺝُّ ، ﻏَﻴْﺮَ ﺃَﻥْ ﻻَ
ﺗَﻄُﻮﻓِﻰ ﺑِﺎﻟْﺒَﻴْﺖِ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﻄْﻬُﺮِﻯ
“Lakukanlah segala sesuatu yang
dilakukan orang yang berhaji selain
dari melakukan thawaf di Ka’bah
hingga engkau suci.” (HR. Bukhari
no. 305 dan Muslim no. 1211)
Larangan kelima: Menyentuh
mushaf Al Qur’an
Orang yang berhadats (hadats
besar atau hadats kecil) tidak boleh
menyentuh mushaf seluruh atau
sebagiannya. Inilah pendapat para
ulama empat madzhab. Dalil dari
hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
ﻟَﺎ ﻳَﻤَﺴُّﻪُ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟْﻤُﻄَﻬَّﺮُﻭﻥَ
“Tidak menyentuhnya kecuali
orang-orang yang disucikan” (QS. Al
Waqi’ah: 79)
Begitu pula sabda Nabi ‘alaihish
sholaatu was salaam,
ﻻَ ﺗَﻤُﺲُّ ﺍﻟﻘُﺮْﺁﻥ ﺇِﻻَّ ﻭَﺃَﻧْﺖَ ﻃَﺎﻫِﺮٌ
“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an
kecuali engkau dalam keadaan
suci.” (HR. Al Hakim dalam Al
Mustadroknya, beliau mengatakan
bahwa sanad hadits ini shahih)
Bagaimana dengan membaca Al
Qur’an? Para ulama empat
madzhab sepakat bolehnya
membaca Al Qur’an bagi orang
yang berhadats baik hadats besar
maupun kecil selama tidak
menyentuhnya.
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah
berkata, “Diperbolehkan bagi
wanita haid dan nifas untuk
membaca Al Qur’an menurut
pendapat ulama yang paling kuat.
Alasannya, karena tidak ada dalil
yang melarang hal ini. Namun,
seharusnya membaca Al Qur’an
tersebut tidak sampai menyentuh
mushaf Al Qur’an. Kalau memang
mau menyentuh Al Qur’an, maka
seharusnya dengan menggunakan
pembatas seperti kain yang suci
dan semacamnya (bisa juga
dengan sarung tangan, pen).
Demikian pula untuk menulis Al
Qur’an di kertas ketika hajat
(dibutuhkan), maka diperbolehkan
dengan menggunakan pembatas
seperti kain tadi.” (Majmu’ Fatawa
Ibnu Baz, 10: 209-210)
Hal-Hal yang Masih Dibolehkan
bagi Wanita Haid dan Nifas
1. Membaca Al Qur’an tanpa
menyentuhnya.
2. Berdzikir.
3. Bersujud ketika mendengar ayat
sajadah karena sujud tilawah tidak
dipersyaratkan thoharoh menurut
pendapat paling kuat.
4. Menghadiri shalat ‘ied.
5. Masuk masjid karena tidak ada dalil
tegas yang melarangnya.
6. Melayani suami selama tidak
melakukan jima’ (hubungan intim
di kemaluan).
7. Tidur bersama suami.
Adapun tentang masalah lainnya,
muslim.or.id akan membahasnya di
kesempatan yang lain, bi idznillah.
Wallahu waliyyut taufiq was sawab
Komentar
Posting Komentar